Obat palsu hingga kini masih beredar di pasar dan menjadi ancaman permanen bagi kesehatan dan keselamatan masyarakat.Sekretaris Jenderal Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) Justiasari P Kusumah di Jakarta, Kamis, mengatakan, meski belum ada data akurat tentang besaran obat palsu yang beredar di pasar nasional karena memang belum ada penelitian khusus mengenai hal itu, namun keberadaan obat palsu di pasaran tidak bisa dinafikan.
"Untuk mengetahui secara pasti jumlahnya juga sulit karena barang ini biasanya diperdagangkan secara illegal," kata Justiasari P Kusumah.
Menurut perkiraan pemerintah sekitar 1-1,5 persen dan menurut estimasi WHO sekitar 10 persen dari obat yang beredar merupakan obat palsu.
Tapi, kata dia, jumlah yang sebenarnya bisa jauh lebih besar dari perkiraan-perkiraan statistik itu.
Hal itu antara lain terlihat dari hasil uji petik yang dilakukan Kelompok Produsen Farmasi Internasional (IPMG) pada 400 gerai penjual produk farmasi, termasuk klinik, apotek, toko obat dan rumah sakit di Jakarta, Medan, Surabaya, dan Bandung pada 2002.
Menurut Ketua Komite Anti Pemalsuan Obat IPMG Thierry Powis, hasil survei itu menunjukkan bahwa sekitar 40 persen obat yang dibeli di sarana-sarana penjualan obat tersebut adalah obat palsu."Survei ini mungkin terbatas sehingga tidak bisa memberikan gambaran secara keseluruhan," katanya. Data yang ada juga sangat bervariasi, ada yang rendah dan ada yang tinggi, kata dia, tapi kalau menyangkut pemalsuan obat, berapapun besarnya sama saja bahayanya. Tidak seperti pemalsuan produk perdagangan yang lain, praktik pemalsuan obat sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan hidup konsumen.
Keamanan, mutu dan khasiat obat palsu, yang menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 949/Menkes/SK/VI/2000 adalah obat yang diproduksi oleh yang tidak berhak menurut peraturan atau diberi penanda dengan meniru identitas obat lain, tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Penggunaan obat-obatan yang demikian justru bisa memperparah kesehatan pasien dan bahkan menyebabkan kematian konsumennya. Berkenaan dengan hal ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan setiap tahun ribuan penduduk dunia meninggal dunia karena mengonsumsi obat palsu.
Oleh karena itu, menurut Justiasari, semua pihak harus bahu-membahu untuk mencegah dan memerangi tindak pidana pemalsuan obat.(*)